1.Monopoli
Monopoli
adalah suatu sistem dalam pasar di man hanya ada satu atau segelintir
perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya
pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk
masuk dalam bidang industri atau bisnis tersebut .Dengan kata lain, pasar
dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk
di dalamnya. Karena itu hampir tidak ada persaingan berarti.
Secara lebih
tegas perlu kita bedakan antara dua macam monopoli. Pertama adalah monopoli
alamiah dan yang kedua adalah monopoli artificial. Monopoli alamiah lahir
karena mekanisme murni dalam pasar. Monopoli ini lahir secara wajar dan alamiah
karena kondisi objektif yang dimiliki oleh suatu perusahaan, yang menyebabkan
perusahaan ini unggul dalam pasar tanpa bisa ditangani dan dikalahkan secara
memadai oleh perusahaan lain. Dalam jenis monopoli ini, sesungguhnya pasar
bersifat terbuka. Karena itu, perusahaan lain sesungguhnya bebas masuk dalam
jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan lain tidak mampu menandingi
perusahaan monopolistis tadi sehingga perusahaan yang unggul tadi relatif
menguasai pasar dalam jenis industri tersebut.
Memang ada
produk pengganti atau alternatif, tapi sering kali produk pengganti ini sulit
menyamai dan menyaingi produk unggulan yang memonopoli pasar tadi karena
kekhasan produk unggulan tersebut yang sudah disenangi konsumen. Jadi, monopoli
perusahaan tersebut memang didasarkan pada keunggulannya dalam pasar. Sementara
itu pasar sendiri tetap terbuka untuk dimasuki oleh pesaing-pesaing lain.
Di sini
terlihat jelas bahwa kendati secara historis pasar bebas lahir untuk menghapus
monopoli yang dikenal dalam sistem ekonomi merkantilistis, pasar sendiri dapat
melahirkan jenis monopoli tertentu berupa monopoli alamiah. Hanya saja, tidak
ada persoalan moral yang serius dengan jenis monopoli ini, karena monopoli itu
dinikmati karena kondisi objektif. Jadi, monopoli ini lahir secara fair,
yaitu karena keunggulan teknologi, keunggulan manajemen, keunggulan komposisi
ramuan produk tertentu yang digemari konsumen tanpa bisa ditiru perusahaan
lain, dan semacamnya. Monopoli ini lahir tanpa direkayasa dan tanpa dukungan
politik apa pun, melainkan karena keunggulan, keuletan, kejelian, membaca
selera konsumen, dan seterusnya. Maka, tidak ada yang akan mempersoalkan dan
menentang jenis monopoli semacam ini.
Termasuk
dalam jenis monopoli ini adalah apa yang Milton Friedman sebagai monopoli
karena pertimbangan-pertimbangan teknis. Yang dimaksudkan adalah bahwa
berdasarkan pertimbangan teknis tertentu, jauh lebih efisien dan ekonomis kalau
industri tertentu hanya dikuasai oleh satu perusahaan saja dan bukunya banyak.
Contoh yang paling jelas adalah industri telepon, air, dan listrik. Umumnya,
perusahaan yang memonopoli industri semacam ini adalah perusahaan pemerintah
demi efisiensi dan demi kepentingan bersama. Jadi, jenis monopoli ini pun tidak
banyak menimbulkan persoalan etis.
Yang menjadi
masalah adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli artificial. Monopoli
ini lahir karena persekongkolan atau kolusi politis dan ekonomi antara
pengusaha dan pengusaha demi melindungi kepentingan kelompok pengusaha
tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir karena pertimbangan rasional misalnya
demi melindungi industri dalam negeri, demi memenuhi economic of scale,
dan seterusnya. Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi sifatnya dan
bisa dari yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai pada yang kasar
dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa sadar yang pada
akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan merugikan
kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
Monopoli
artificial yang didasarkan pada pertimbangan yang rasional tertentu
sesungguhnya tidak menjadi soal kalau kebijaksanaan yang menopolistis itu tetap
mengindahkan prosedur yang fair dan adil, terbuka, dan dapat
dipertanggungjawabkan tidak hanya secara politis melainkan juga secara moral.
Yang jadi soal adalah, kalaupun ada pertimbangan yang rasional dan objektif,
tidak ad prosedur yang fair, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan
yang memungkinkan terbukanya peluang yang sama dan fair bagi kompetisi
sebelum memenangkan monopoli artificial itu. Monopoli artificial umumnya
bersifat sepihak, sewenang-wenang, dan karena itu dianggap curang. Kalaupun
monopoli itu didasarkan pada alasan rasional, misalnya demi perlindungan
industri dalam negeri atau demi meningkatkan daya saing ekonomi kita,
prosedurnya tidak pernah transparan disertai kriteria objektif bagi perusahaan
yang pantas untuk mendapat monopoli itu. Maka, timbul pertanyaan yang sangat
masuk akal: mengapa perusahaan x yang ditunjuk atau yang mendapat proyek itu
dan bukan perusahaan lain. Apa alasan dan pertimbangan rasional penunjukan itu?
Apakah proyek itu juga terbuka bagi semua perusahaan lain? Kalau begitu, apa
kriteria objektif yang telah menyebabkan perusahaan x yang dipilih? Monopoli
atas proyek tersebut-misalnya dengan alasan rasional demi melindungi industri
dalam negeri-tentu tidak dipersoalkan .Yang menjadi soal adalah penunjukan
sepihak dan tertutup itu.
Yang paling
buruk adalah monopoli artificial tanpa ada pertimbangan rasional dan objektif.
Sumber paling pokok dari monopoli ini adalah bantuan dari pemerintah entah
secara langsung atau tidak langsung, demi melindungi kepentingan bisnis
kelompok lain, atau mengorbankan kepentingan bersama, atau pula dengan
mengorbankan rasa keadilan dalam masyarakat. Jadi, pemerintah memberi dukungan,
bahkan perlindungan politik secara istimewa, melalui aturan atau kebijaksanaan
politik ekonomi tertentu, yang pada akhirnya akan menghambat perusahaan dan
kelompok usaha lain untuk masuk dalam jenis industri yang sama,demi kepentingan
perusahaan monopolistis tertentu.
Berbeda
dengan monopoli alamiah, monopoli antifisial menimbulkan beberapa masalah etis
yang pelik. Pertama, masalah keadilan. Salah satu aspek keadilan yang dilanggar
oleh praktek monopoli artificial adalah dilanggarnya prinsip perlakuan yang
sama bagi semua pengusaha atau kelompok bisnis. Dengan praktek monopoli ada
kelompok yang diperlakukan secara istimewa, bahkan tanpa alasan yang rasional,
sementara yang lain disingkirkan secara menyakitkan dan secara tidak fair.
Mereka terpaksa dan dipaksa mengalah demi kepentingan kelompok tertentu dengan
kedok kepentingan nasional. Maka, jelas ada kelompok pengusaha yang dirugikan.
Dalam kaitan
dengan ini yang juga menyakitkan dan menimbulkan persoalan etis adalah bahwa
negara yang seharusnya bersikap netral tak berpihak, dengan praktek monopoli
itu telah bertindak secara sepihak. Ini sungguh menyakitkan karena negara telah
memainkan dan mempraktekkan politik diskriminasi dalam bidang ekonomi.
Praktek monopoli artificial,
termasuk yang rasional sekalipun, juga tidak adil karena tidak ada prosedur
yang fair dan jelas. Dengan kata lain, monopoli juga melanggar aspek
keadilan lainnya berupa keadilan prosedural (procedural justice),
yaitu tuntutan agar pihak yang dipilih adalah pihak yang paling memenuhi semua
ketentuan dan prosedur yang ada dan lolos dari prosedur yang benar-benar
objektif.
Yang juga
mengalami perlakuan tidak adil adalah konsumen atau masyarakat pada umumnya.
Masyarakat dirugikan baik karena dipaksa dan terpaksa membeli produk dari
perusahaan monopolistis maupun karena direnggut kebebasannya untuk memilih
diantara berbagai alternatif barang kebutuhannya, yang akan terbuka baginya
kalau pasar dibiarkan terbuka. Dengan monopoli tidak ada lagi kemungkinan lain
bagi konsumen untuk memilih secara bebas. Bahkan konsumen merasa didikte oleh
produsen yang bertindak sewenang-wenang karena merasa dilindungi secara
politis. Apalagi, dengan monopoli harga produk tersebut menjadi jauh lebih
mahal daripada harga pasar yang sebenarnya.
Masalah kedua
yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artificial adalah ketimpangan ekonomi
atau apa yang disebut sebagai ketidakadilan distributive. Yang dimaksudkan
disini adalah bahwa monopoli menimbulkan ketimpangan atau distribusi ekonomi
yang tidak merata antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan
monopoli artificial, kelompok tertentu mengakumulasi keuntungan dan kekayaan
secara melimpah ruah, gampang, dan melalui car yang curang sementara kelompok
yang lain terpinggirkan kalau bukan semakin miskin. Kelompok yang mendapat
monopoli memperoleh kesempatan bisnis dan perlindungan politik untuk menjadi
semakin kaya sementara yang lain dibiarkan berjuang sendiri kalau bukan
bangkrut. Memang monopoli alamiah pun dalam arti tertentu dapat dapat
menyebabkan ketimpangan ekonomi karena perusahaan monopolistis akan menjadi
lebih unggul dan kaya sementara yang lainnya tidak. Namun, persoalannya bahwa
tidak ada yang salah dengan keuntungan atau kekayaan yang diperoleh melalui cara
yang halal dan fair, yaitu melalui keunggulan objektif perusahaan
tersebut. Tidak ada yang salah kalau perusahaan yang unggul dalam manajemen,
dalam mutu, dalam pemenuhan selera, dan seterusnya meraup untung besar karena
dalam pasar lebih disukai konsumen. Baru itu menjadi soal kalau kekayaan itu
diperoleh secara tidak halal dan tidak fair melalui monopoli dengan
bantuan perlindungan pemerintah.
Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan disini dalam kaitan dengan ketimpangan ekonomi yang
ditimbulkan oleh praktek monopoli. Pertama, perusahaan monopolistis diberi
wewenang secara tidak fair untuk menguras kekayaan bersama demi
kepentingan sendiri dalam selubung kepentingan bersama. Secara moral dapat
dipertanyakan: atas dasar apa perusahaan tertentu mendapat hak pengelolaan
kekayaan alam hutan, tambang, dan seterusnya, demi memperkaya dirinya sementara
rakyat di sekitar tempat itu hampir tidak pernah mendapat manfaat langsung dari
proyek itu, dan berarti tetap miskin. Kedua, rakyat atau konsumen yang sudah miskin
dipaksa untuk membayar harga produk monopolistis yang jauh lebih mahal. Dengan
demikian daya beli masyarakat dikuras demi kekayaan kelompok yang mendapatkan
monopoli tadi. Padahal, kalau tanpa monopoli, dengan daya beli mereka yang ada,
rakyat bisa memenuhi lebih banyak kebutuhan hidupnya. Ketiga, ketimpangan
ekonomi akibat praktek monopoli juga berkaitan dengan tidak samanya peluang
yang terbuka bagi semua pelaku ekonomi oleh adanya praktek monopoli itu.
Ketimpangan ekonomi yang terjadi karena terbukanya peluang yang sama masih
lebih baik daripada ketimpangan yang disebabkan karena peluang dan perlakuan
yang tidak sama. Dengan monopoli ad yang dilindungi, dipercaya, dan diperbesar
kekuatan ekonominya, sementara lebih banyak lagi pihak lainnya dibiarkan berjuang
sendiri. Ini jelas tidak adil.
Masalah
ketiga yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artificial adalah terlanggarnya
kebebasan baik pada konsumen maupun pad pengusaha. Seperti telah dikatakan,
konsumen tidak punya pilihan lain selain produk dari perusahaan monopolis.
Demikian pula, konsumen tidak bisa secara bebas memilih barang atau jasa yang
sesuai dengan kemampuan ekonominya karena hanya ada satu produk dengan harga
yang telah dipatok tersebut. Sementara itu, pengusaha lain jelas tidak bisa menikmati
kebebasan berusaha karena hambatan yang secara sengaja diciptakan untuk
melindungi perusahaan monopolistis. Ini benar-benar tidak etis dan merusak
mekanisme pasar yang fair.
2.Oligopoli
Oligopoli
adalah salah satu bentuk monopoli tetapi agak berbeda sifatnya. Kalau monopoli
merupakan kolusi antara pengusaha dan penguasa, maka oligopoli sesungguhnya
adalah kolusi antara pengusaha dan penguasa. Oligopoli agak berbeda sifatnya
dengan monopoli karena oligopoli terletak diantara pasar yang bebas dan terbuka
di satu pihak dan monopoli di pihak yang lain. Dalam praktek oligopoli pasar
dikuasai oleh segelintir pengusaha-semakin sedikit semakin baik-bukan karena
ada kolusi dengan pemerintah, melainkan karena kolusi diantar segelintir
pengusaha tersebut untuk menguasai dan mendikte pasar. Milton Friedman menyebut
praktek seperti ini sebagai monopoli dengan sumber utamanya pada kolusi
perusahaan swasta.
Inti dari
oligopoli adalah bahwa beberapa perusahaan sepakat baik secara tersirat maupun
tersurat untuk menetapkan harga produk dari industri sejenis pada tingkat yang
jauh lebih tinggi dari harga berdasarkan mekanisme murni dalam pasar. Dalam hal
ini setiap perusahaan sejenis sangat peka terhadap harga dan strategi pasar
yang diambil oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian, baik secara
tersirat (diam-diam) maupun secara tersurat (melalui perjanjian) mereka kan menyesuaikan harga
dan strategi pasar sesuai dengan langkah yang ditempuh perusahaan lain.
Kalau dalam
praktek monopoli artificial perusahaan tertentu melakukan kolusi dengan
penguasa demi mengalahkan, atau lebih tepat menyingkirkan, perusahaan lain,
maka dalam praktek oligopoli yang terjadi adalah persekongkolan antara beberapa
perusahaan sejenis dengan tujuan utama untuk mengalahkan dan mendikte konsumen.
Artinya, dari pada didikte oleh pasar (konsumen), perusahaan-perusahaan
tertentu bersekongkol untuk mendikte pasar, dan dengan demikian mendikte
konsumen melalui kebijaksanaan harga yang lebih tinggi atau ketat. Memang efek
sampingannya adalah bahwa perusahaan yang lain akan sulit masuk dalam industri
sejenis tersebut, tetapi sesungguhnya yang ingin “diperangi” adalah konsumen.
Selain praktek oligopoli secara
merger, yaitu penggabungan beberapa perusahaan yang sebelumnya bersaing satu
sama lain menjadi satu perusahaan raksasa, juga dikenal dua bentuk praktek
oligopoly lainnya sebagai berikut. Bentuk pertama adalah kartel atau juga
dikenal sebagai persetujuan tersurat. Dalam praktek ini manajer dari beberapa perusahaan
sejenis bertemu dan mengadakan persetujuan secara tersurat untuk membatasi
persaingan di antara mereka dengan menetapkan harga jual produk mereka jauh di
atas harga normal dalam pasar. Tujuan akhirnya adalah untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat.
Ada banyak praktek
oligopoli jenis ini. Dua yang paling umum dikenal adalah price-fixing
dan manipulasi penawaran. Dalam praktek price-fixing,
perusahaan-perusahaan oligopolies sepakat untuk menetapkan harga lebih tinggi
dan memaksa konsumen untuk menerima harga tersebut. Dalam praktek manipulasi
penawaran, perusahaan-perusahaan oligopolistis sepakat untuk menangguhkan
produksi untuk kurun waktu tertentu atau untuk menghentikan penawaran dalam
kurun waktu tertentu sehingga terjadi kelangkaan dalam pasar. Akibatnya, akan
melonjak permintaan yang dengan sendirinya akan diikuti oleh naiknya harga
produk dari perusahaan-perusahaan oligopolistis tadi. Dengan praktek manipulasi
penawaran, timbul kesan seakan-akan pasarlah yang menyebabkan harga naik. Jadi,
kenaikan harga adalah akibat dari manipulasi perusahaan-perusahaan tersebut.
Bentuk lain
dari praktek oligopoli adalah price leadership atau juga dikenal
sebagai persetujuan diam-diam. Yang terjadi adalah bahwa sudah ada semacam
kesepakatan diam-diam di antara perusahaan-perusahaan sejenis untuk menaikkan
atau sebaliknya menurunkan harga produk mereka mengikuti langkah yang diambil
oleh salah satu dari perusahaan sejenis. Pihak yang berinisiatif untuk
menaikkan atau menurunkan harga tersebut lalu dikenal sebagai price
leader-biasanya perusahaan yang paling menonjol. Asumsi dibalik praktek ini
adalah dari pada bersaing satu sama lain melalui tingkat harga produk sejenis
yang beragam, lebih baik “bersekongkol” dengan menjual produknya pada tingkat
harga yang sama. Kalau mereka bersaing satu sama lain, yang rugi adalah
produsen-produsen itu sendiri, sebaliknya yang untung adalah konsumen. Maka,
dari pada sling bersaing dan merugikan produsen sendiri, lebih baik bersekongkol
dengan satu tingkat harga, yang akan lebih menguntungkan produsen dan merugikan
konsumen.
Dengan
melihat praktek oligopoli diatas, terlihat jelas bahwa persoalan etis yang
muncul dari praktek oligopoli tidak jauh berbeda dari persoalan yang muncul
dalam praktek monopoli. Hanya saja, yang paling yang paling dirugikan dengan
praktek oligopoli adalah pihak konsumen. Konsumen diperlakukan secara tidak
adil karena dirugikan dan banyak hal tidak bebas menentukan pilihannya baik
dalam hal jenis barang maupun harga yang kompetitif. Yang juga menakutkan
adalah bahwa praktek oligopoly tidak hanya merusak mekanisme pasar dan juga
kepentingan masyarakat, melainkan juga menumpuk kekuatan ekonomi dan juga
politik dalam kelompok tertentu. Akibat lebih lanjut, perusahaan oligopolistis
yang lebih besar dan punya jaringan dan ikatan yang raksasa tadi tidak hanya
mendikte pasar, dalam hal ini berarti konsumen atau masyarakat luas, melainkan
juga pada akhirnya bisa mendikte pemerintah untuk tunduk pada kepentingan
mereka. Karena itu, kalau satu perusahaan telah menaikkan-atau dalam kasus
tertentu menurunkan-harga produknya, dengan serta-merta perusahaan lain pun
akan melakukan hal yang sama. Maka, persaingan diantara mereka lalu tidak
terjadi.
Ini sungguh
menakutkan. Dalam hal monopoli artificial yang muncul karena dukungan dan
kolusi dengan pemerintah, pemerintah masih punya posisi kuat untuk menjinakkan
kekuatan ekonomi monopolistis dalam kekuasaan pemerintah. Pada perusahaan
oligopolistis, kekuatan dan kekuasaan ekonomi dan politik ini tumbuh di luar
kendali pemerintah. Sampai tingkat tertentu mereka bisa dianggap sebagai aset
bangsa: bisa kuat dalam persaingan global dan karena itu bisa mendatangkan
devisa yang besar bagi negara. Ini berarti pemerintah bisa sulit mengambil langkah
tertentu untuk mengendalikan mereka, kalau bukan malah didikte oleh
perusahaan-perusahaan oligopolistis ini.
Lebih parah lagi kalau dalam
kurun waktu tertentu pemerintah membutuhkan produksi dan distribusi massal dari
produk tertentu, dan ternyata perusahaan oligopolistis ini menjadi dewa
penyelamat karena kekuatan modal dan pasar yang dimilikinya. Ini pada
gilirannya akan menyulitkan posisi pemerintah dalam mengambil sikap terhadap
sepak terjang perusahaan ini.
Tentu saja tidak disangkal bahwa
perusahaan yang besar dengan kekuatan ekonomi, bahkan sampai tingkat tertentu
kekuasaan politik, yang besar tidak selamanya jelek. Perusahaan yang besar dan
dalam arti tertentu oligopolies dapat menguntungkan tidak hanya bagi perusahaan
itu melainkan juga bagi bangsa dan masyarakat pada umumnya. Misalnya,
perusahaan yang besar dengan kekuatan ekonomi dan politik yang besar dapat
mengerahkan sumber daya yang besar, memproduksi barang dan jasa pada tingkat
harga yang lebih murah dan efisien, dan mampu mengumpulkan investasi yang besar
yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan perekonomian nasional. Namun di
pihak lain, perusahaan-perushaan oligopolies itu membawa persoalan etis yang
serius: terlanggarnya keadilan (pada pihak-pihak tertentu yang dirugikan:
konsumen dan pengusaha lain), ada praktek yang tidak fair atau curang,
munculnya ketimpangan ekonomi karena perusahaan oligopolistis menumpuk kekayaan
ekonomi dengan mengeruk dan memeras rakyat banyak melalui harga yang lebih
tinggi. Jadi, yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana perusahaan besar
yang oligopolistis itu bisa menggunakan pengaruhnya secara positif demi
kepentingan bersama; bagaimana ia dapat memanfaatkan kekuatan ekonomi dan
politiknya itu demi kemajuan bangsa bukannya merugikan masyarakat.
3.Suap
Salah satu
praktek yang sampai tingkat tertentu juga mengarah pada monopoli dan juga
merusak pasar adalah suap. Suap mengarah pada monopoli karena dengan suap
penyuap mencegah perusahaan lain untuk masuk dalam pasar untuk bersaing secara fair.
Dengan suap, perusahaan penyuap mendapat hak istimewa untuk melakukan bisnis
tertentu yang tidak bisa dimasuki oleh perusahaan lain. Melalui suap, pihak
pemerintah melakukan peraturan tertentu untuk melindungi kegiatan bisnis
perusahaan penyuap tadi atau mengeluarkan langkah kebijaksanaan tertentu yang
bertujuan untuk melindungi perusahaan penyuap tadi. Dengan demikian, praktis
ada hambatan baik secara legal-yuridis maupun praktis bagi perusahaan lain
untuk masuk dalam industri sejenis. Jadi, praktek suap juga akhirnya
menyebabkan perusahaan lain kalah dan tersingkir secara menyakitkan melalui
permainan yang tidak fair. Bersama dengan itu, dalam situasi tertentu, penyuap
sesukanya menentukan harga dan dengan demikian mendikte dan merugikan konsumen.
Akibat lebih lanjut adalah bahwa harga tidak mencerminkan fluktuasi dan
mekanisme pasar dan juga tidak mencerminkan mutu barang yang dijual.
Sebagaimana dikatakan Velasquez, “Perusahaan yang penyuap bisa menetapkan harga
yang lebih tinggi, melakukan pemborosan sumber daya, dan mengabaikan kualitas
dan kontrol biaya karena monopoli yang diperolehnya melalui suap akan menjamin
keuntungan yang besar tanpa perlu membuat harga atau kualitas produknya
kompetitif dengan harga atau kualitas produk atau perusahaan lain.
Sebelum kita
lihat lebih lanjut aspek moral dari suap ini, ada baiknya perlu dibuat
pembedaan antara suap dan tip. Tip adalah hadiah atau pemberian cuma-cuma yang
diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu sebagai tanda terima kasih atas
bantuan atau pelayanan yang telah diberikannya, kendati bantuan atau pelayanan
itu merupakan tugas dan tanggung jawabnya. Intinya adalah bahwa pemberian
sebagai tip selalu diberikan setelah pelayanan atau bantuan diberikan dan
karena itu tidak menjadi syarat bagi pelaksanaan pelayanan atau bantuan
tersebut. Demikian pula, dalam praktek tip, yang berinisiatif memberi adalah
pihak yang mendapat pelayanan atau bantuan tersebut. Maka, tip adalah bentuk
perilaku etis sebagai ungkapan penghargaan yang tulus atas jasa orang lain.
Dalam kaitan dengan itu, tip
tidak menjadi alat intimidasi secara halus atau lunak dan samar-samar. Maka,
kalaupun tip tidak diberikan pelayanan berjalan seperti biasa, termasuk
pelayanan-pelayanan lain di kemudian hari. Pelayanan dan bantuan tidak
mengalami perubahan entah ada atau tidak ada tip. Pihak yang memberi bantuan
dan pelayanan pun tidak menggantungkan pelayanan dan bantuan itu pada tip.
Suap justru berbeda sekali
dengan tip. Suap diberikan sebelum pelayanan atau bantuan diberikan dan
merupakan syarat bagi pelaksanaan pelayanan dan bantuan tersebut yang
sesungguhnya sudah menjadi tugas, tanggung jawab dan kewajiban pihak pelaksana
itu. Dengan demikian suap sangat mempengaruhi dan menentukan seluruh
pelaksanaan pelayanan, bantuan, dan transaksi selanjutnya. Bahkan dalam kasus
suap, yang berinisiatif, secara halus, samar-samar atau terang-terangan, adalah
pihak yang mendapat suap itu. Yaitu, pihak pemberi jasa. Maka, bisa ditebak
bahwa dalam kasus tertentu suap menjadi semacam intimidasi.
Atas dasar
perbedaan diatas, dapat dikatakan bahwa tip tidak menimbulkan persoalan etis,
sedangkan suap justru menimbulkan berbagai macam persoalan etis. Tentu saja,
dalam budaya kita, tip pun bisa berubah hakekatnya menjadi suap. Misalnya,
pihak tertentu yang diberi tip lalu merasa seakan terikat secara moral untuk
memuluskan jalan bagi pemberi tip dalam relasi selanjutnya di kemudian hari.
Termasuk didalamnya, dengan tip penerima secara positif mereka seakan berutang
budi dan dengan demikian dengan penuh resiko ingin membalas kebaikan tersebut
dengan melakukan manipulasi tertentu. Ini sangat disayangkan karena
sesungguhnya tidak perlu terjadi. Demikian pula sebaliknya, pihak pemberi tip
cenderung menganggap tip sebagai pengikat dan pelicin bagi urusan selanjutnya.
Padahal tidak perlu. Dalam hal ini, sebaiknya pihak penerima tetap saja
menerimanya, tapi tidak perlu terpengaruh dengan itu. Katakan saja, kalau dalam
“proyek” selanjutnya perusahaan yang telah memberinya tip tidak memenuhi
kualifikasi, pihak penerima tip tadi tidak harus melakukan manipulasi untuk
memenangkan perusahaan yang pernah memberinya tip tadi. Demikian pula, pihak
yang pernah memberi tip tak harus menganggap pihak penerima tip tadi sebagai
“tak tahu balas budi”. Kalau itu terjadi, tip- yang semula merupakan tanda
terima kasih- telah berubah fungsi menjadi suap. Karena itu, si pembeli itu
sendiri yang sebenarnya punya motivasi jelek.
Jadi, dengan
adanya tip atau tidak, pihak yang berwenang- pemberi jasa- seharusnya hanya
mendasarkan dirinya pada prinsip kualifikasi: kualitas dan keunggulan objektif,
atau, dalam kaitan dengan prosedural, yang datang pertama mendapatkan pelayanan
pertama. Kalau ini benar-benar dipegang, tip akan tetap menjadi praktek budaya
yang baik dan tidak berubah hakikat menjadi suap yang merusak.
Ada beberapa masalah etis
yang terkait dengan praktek suap. Masalah-masalah tersebut sedikit banyaknya
punya kemiripan dengan masalah yang ditimbulkan oleh monopoli dan oligopoli.
Yang pertama adalah bahwa praktek suap adalah praktek yang tidak fair,
tidak adil. Dengan suap pihak lain disingkirkan bukan karena atas dasar
objektif, melainkan karena permainan kotor bernama suap.
Dalam kaitan dengan itu, suap
juga menimbulkan masalah ketidakadilan distributif. Ketidakadilan distributif
akibat praktek suap muncul dalam beberapa wujud. Misalnya, kelompok tertentu
yang mendapat proyek, atau diberi hak monopoli impor, ekspor, atau penjualan
produk tertentu, lalu dengan mudah menjadi kaya raya melalui cara yang tidak fair.
Dana masyarakat yang seharusnya bisa terbagi secara merata di antara
berbagai pengusaha melalui mekanisme persaingan murni dalam pasar, lalu hanya
berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Akibatnya, terjadi jurang dan
ketimpangan sosial ekonomi. Ini lebih terasa lagi kalau suap dilakukan oleh perusahaan
besar, yang karena itu mampu membayar nilai suap paling besar, dan dengan suap
itu ia mendapat monopoli atau perlindungan untuk menggarap proyek tertentu yang
memang sangat menguntungkan. Terjadilah penumpukan atau konsentrasi kekayaan
pada kelompok tertentu.
Dalam wujud
yang lain, ketidakadilan distributif juga muncul dalam bentuk pembayaran upah
buruh yang rendah. Maksudnya, dalam pasar yang masih memungkinkan untuk adanya
persaingan, demi tetap menjaga daya saing perusahaan penyuap, biaya untuk suap
diperoleh dengan cara menekan upah buruh serendah mungkin. Ini terutama terjadi
dalam kaitan dengan perusahaan dalam negeri yang berorientasi ekspor. Di dalam
negeri perusahaan tersebut melakukan suap untuk mendapat perlindungan dari
pemerintah, tetapi pada taraf global ia harus tetap bersaing dengan perusahaan
dari negara lain. Untuk bisa kompetitif, biaya produksi ditekan serendah
mungkin. Jalan yang ditempuh untuk itu adalah dengan menekan upah buruh.
Padahal, seandainya tanpa suap, upah buruh bisa lebih tinggi karena alokasi
untuk suap bisa dipakai untuk meningkatkan upah buruh. Dengan menekan upah
buruh, ketimpangan ekonomi antara kelas buruh dan kelas pemilik modal tetap
lebar kalau bukan semakin lebar.
Dengan kaitan dengan itu,
persoalan moral yang ketiga yang ditimbulkan oleh suap adalah ekonomi biaya
tinggi. Sekilas masalah ini hanya berkaitan dengan ekonomi. Namun sesungguhnya
ini punya nuansa moral yang kuat. Karena ekonomi biaya tinggi yang disebabkan
oleh praktek suap- karena membengkakkan biaya secara tidak perlu- pada akhirnya
juga memberatkan masyarakat, termasuk masyarakat miskin. Jadi, masyarakat
miskin diperas dan dikuras daya belinya untuk kepentingan pengusaha penyuap.
Jelas itu tidak etis.
Keempat,
dalam kasus suap yang melibatkan pihak birokrasi pemerintah, praktek suap
melahirkan praktek kenegaraan yang tidak etis karena pelayanan publik yang
menjadi tugas, tanggung jawab, dan kewajiban moral birokrasi pemerintah
diperjualbelikan. Dalam bahasa yang lebih populer, suap merupakan tindakan
manipulasi jabatan dan kedudukan. Ini tidak hanya merendahkan martabat pejabat
birokrasi tersebut- atau malah memperlihatkan rendahnya moralitas dan
integritas moral pejabat- melainkan juga merendahkan martabat birokrasi
pemerintah sebagai pelayan publik dan mengganggu kehidupan bersama. Pada
gilirannya, karena hampir semua pelayanan publik hanya akan dijalankan secara
baik kalau ada suap, kepastian hukum dan kepastian ketatanegaraan pun tidak
ada. Dengan kata lain, kepastian mekanisme dan sistem yang baik dan etis tidak
ada. Yang ada hanyalah kepastian sistem yang korup: ada uang dan pelayan.
Yang lebih parah lagi adalah
perasaan dipermainkan dan menjadi mainan birokrasi. Dalam hal ini pihak yang
membutuhkan jasa pemerintah sehubungan dengan kegiatan bisnis dilempar dari
satu meja ke meja yang lain, padahal itu bukan merupakan prosedur resmi. Akibat
lebih lanjut, kepercayaan masyarakat terhadap bangsa sendiri menjadi hilang.
Muncullah kerugian yang wajar- kendati seharusnya tidak perlu- dari pada mencari
jasa pelayanan publik terhadap birokrasi pemerintah. Ini pada gilirannya
berkembang menjadi sebuah mental budaya yang merendahkan martabat bangsa
sendiri.
Kelima,
masalah moral lain yang terkait dengan praktek suap adalah hilangnya
profesionalisme, khususnya komitmen sebagai orang yang profesional di
bidangnya. Ini berlaku baik pada pemberi suap maupun pada penerima. Pemberi
suap mendapat proyek atau kemudahan bukan karena profesional, melainkan karena
suap. Untuk selanjutnya dia tidak berusaha mengembangkan profesionalismenya
melainkan hanya mengandalkan suap. Demikian pula, pihak penerima tidak lagi
mendasarkan tugas pelayanannya pada kualitas profesional, melainkan pada suap
tadi. Ini pada gilirannya akan melemahkan bangsa dan negara secara keseluruhan.
4.Undang-Undang
Anti-Monopoli
Terlepas dari
kenyataan bahwa dalam situasi tertentu kita membutuhkan perusahaan besar dengan
kekuatan ekonomi yang besar, dalam banyak hl praktek monopoli, oligopoli, suap,
harus dibatasi dan dikendalikan, karena sebagaimana telah kita lihat, kerugian
kepentingan masyarakat pada umumnya dan kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat. Strategi yang paling ampuh untuk itu, sebagaimana juga ditempuh
oleh negara maju semacam Amerika, adalah melalui undang-undang-anti monopoli. Dalam
undang-undang itu sudah terkandung pula larangan untuk oligopoli dan suap.
Namun ini saja tidak cukup. Pada
tempat pertama perlu ada kemauan baik di pihak pemerintah untuk benar-benar
membasmi praktek monopoli, oligopoli, dan suap ini. Diakui atau tidak, praktek
monopoli, oligopoli, dan sup bersentuhan dengan kepentingan pihak-pihak
tertentu dalam birokrasi pemerintah. Maka, pertanyaannya adalah beranikah
pemerintah mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan mereka
sebagai pribadi, sebagai oknum. Kalau jawabannya positif, kiranya undang-undang
anti-monopoli akan menjadi pilihan utama mereka. Sebabnya, sebagaimana tujuan
dan fungsi utama pemerintah adalah demi melindungi hak dan kepentingan
masyarakat, undang-undang anti-monopoli pun bertujuan melindungi hak dan
kepentingan masyarakat dari keserakahan pihak manapun yang ingin mengeruk
keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain,
termasuk kepentingan masyarakat, melalui car-car yang curang dan tidak fair.
Sebagai gambaran,
ada baiknya kita lihat tujuan yang ada di balik undang-undang antitrust di
Amerika. Undang-undang antitrust yang paling penting adalah apa yang dikenal
sebagai The Sherman Act, tahun 1890. Undang-undang ini dapat dianggap sebagai
induk peraturan perundang-undangan mengenai kontrol atas monopoli dan
praktek-praktek perdagangan yang tidak fair. Undang-undang ini
kemudian disempurnakan oleh The Clayton Act dan The Federal Trade Commission
Act pada tahun 1914. Tujuan utama dari undang-undang antitrust ini adalah,
pertama, untuk melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara berbagai
kekuatan ekonomi dalam pasar. Ini dijamin melalui peraturan yang melarang
monopoli, persaingan yang tidak sehat, kolusi, dan permainan harga yang tidak
sehat. Asumsinya, konsumen akan lebih diuntungkan melalui persaingan murni yang
sehat dalam pasar. Karena itu, harga barang dan jasa harus dibiarkan
berfluktuasi sesuai dengan mekanisme murni dari pasar.
Dengan ini terlihat jelas bahwa
undang-undang anti-monopoli bukan membatasi pasar, justru sebaliknya
mengaktualkan cita-cita pasar bebas dan dengan demikian menjamin agar pasar
yang fair benar-benar berfungsi. Ini sekaligus menunjukkan bahwa yang
namanya pasar bebas, sekali lagi, bukanlah pasar tanpa kendali, melainkan
adalah pasar dengan kendali, dengan pemerintah aktif berfungsi didalamnya untuk
membuat aturan main dan melaksanakan aturan main demi berfungsinya pasar sesuai
dengan hakekatnya: tidak ada pihak yang dirugikan secara curang oleh pihak
lain.
Kedua, dalam
kaitan dengan itu, undang-undang anti-monopoli juga bertujuan melindungi
kesejahteraan konsumen dengan melarang praktek-praktek bisnis yang curang dan
tidak fair. Asumsinya, dengan persaingan yang sehat konsumen akan
memperoleh barang dan jasa yang semakin beragam sesuai dengan kebutuhannya.
Konsumen mempunyai pilihan yang variatif sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi
secara maksimal sesuai dengan selera dan preferensinya. Tapi bersamaan dengan
itu kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan daya belinya. Karena,
dengan persaingan yang sehat mereka dapat memperoleh barang dengan harga yang
lebih murah pada tingkat kualitas yang terjamin baik. Maka, dengan pengeluaran
yang sama mereka dapat memenuhi lebih banyak kebutuhan hidupnya.
Ketiga,
selain itu undang-undang anti-monopoli juga bermaksud melindungi perusahaan
kecil dan menengah dari praktek bisnis yang monopolis dan oligopolistis.
Asumsinya, tanpa undang-undang anti-monopoli ada bahaya yang cukup besar bahwa
perusahaan yang besar dengan mudah membeli dukungan pemerintah dan mengadakan
persekongkolan dengan perusahaan lain yang besar untuk mendikte harga dan
dengan demikian menjatuhkan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil yang tidak
bisa bersaing dengan mereka.
Dengan melihat tujuan dari
undang-undang antitrust ini, kita bisa melihat bahwa melalui undang-undang
semacam ini fungsi pasar dan fungsi pemerintah dipadukan dan dijamin
didalamnya: sama-sama berfungsi untuk melindungi hak dan kepentingan setiap dan
semua orang secara sama dalam bidang ekonomi. Karena itu, kalau pemerintah
memang benar-benar punya kemauan baik dan tekad untuk berfungsi menjaga dan
melindungi kepentingan bersama seluruh masyarakat, maka undang-undang
anti-monopoli merupakan suatu keharusan, khususnya bagi dan sejalan dengan
sistem pasar bebas. Undang-undang anti-monopoli ini tidak hanya penting dan
niscaya dari segi ekonomi (yaitu bagi pertumbuhan dan efisiensi ekonomi),
melainkan juga dari segi etis: kebebasan konsumen dan pengusaha, keadilan,
praktek bisnis yang fair dan semacamnya.
Akan tetapi, sebagaimana telah
disinggung berulang kali dalam buku ini, ini saja tidak cukup. Yang juga tidak
kalah pentingnya adalah kemauan dan keseriusan pemerintah untuk menerapkan
undang-undang anti-monopoli ini sebagai aturan main bagi kehidupan ekonomi dan
bisnis kita. Ini penting, karena kendati ada undang-undangnya, tetapi kalau
tidak dilaksanakan, atau dilaksanakan hanya sesuai dengan keinginan atau
kepentingan oknum birokrasi pemerintah, maka pada akhirnya hanya merupakan
dagelan politik belaka.
Terlepas dari
ada tidaknya kemauan baik dan tekad pemerintah tersebut diatas, ada keyakinan
yang cukup kuat bahwa gelombang globalisasi sampai tingkat tertentu berdampak
positif memaksa pemerintah untuk lebih terbuka dalam berbagi kebijaksanaan
ekonomi dan bisnisnya. Salah satu di antaranya adalah desakan dari dalam
maupun dari luar ekonomi Indonesia
untuk menghapus berbagai praktek yang bersifat monopolistis dan oligopolistis.
Paling kurang, karena praktek-praktek semacam ini anti-pasar dan tidak fair.
Jadi, pada akhirnya undang-undang anti-monopoli akan dilahirkan dan
diberlakukan, paling kurang karena alasan ekonomi. Ini merupakan suatu
keharusan zaman sesuai dengan sistem ekonomi yang bernama pasar bebas atau
ekonomi global.
Selain
undang-undang anti-monopoli, kiranya dalam sistem pasar bebas, kita membutuhkan
berbagai aturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja, Undang-Undang
Periklanan, atau bahkan Undang-Undang Persaingan yang Sehat. Semuanya ini
didasarkan pada satu semangat moral: demi melindungi hak dan kepentingan semua
pihak atau agar hak dan kepentingan siapapun dalam pasar yang terbuka dan penuh
persaingan ketat tidak dirugikan (no harm). Semua aturan
perundang-undangan ini dibutuhkan oleh semua pelaku bisnis dan ekonomi demi
kepentingan masing-masing dan kepentingan bersama. Semua peraturan
perundang-undangan itu dilandasi oleh satu tekad untuk menciptakan iklim bisnis
yang baik dan etis, yang pada gilirannya akan sangat kondusif bagi perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Maka, semua undang-undang semacam itu harus
mendapat perhatian utama dalam kebijaksanaan ekonomi pemerintah, khususnya
dalam menghadapi globalisasi ekonomi.
Kalau pemerintah tidak siap
dengan undang-undang semacam itu, kita akan keteter kalau bukan akan
menjadi bulan-bulanan kritik dari pihak luar. Konsekuensi dari kita memasuki,
bahkan ikut memprakarsai, perdagangan global adalah bahwa kebijaksanaan ekonomi
kita pun harus dijiwai dan mengarah ke semangat perdagangan global yang
didasarkan pada persaingan yang terbuka dan fair. Kebijaksanaan
semacam itu juga penting bagi pengusaha kita agar mereka terbiasa bersaing
secara fair dan terbuka dan tidak hanya sekadar menjadi besar dibalik
proteksi-proteksi pemerintah. Kalau terus-menerus hanya bisa menjadi besar
karena proteksi, ini akan menyulitkan pengusaha kita untuk bisa benar-benar
bersaing dalam pasar global. Akibatnya, pasar global hanya akan mendapatkan
efeknya yang merugikan dan bukan memanfaatkannya sebagai peluang demi
kepentingan kita.
Ada dua pertanyaan yang
relevan dilontarkan disini. Pertama, apakah dengan semua undang-undang itu,
sistem ekonomi pasar masih benar-benar bebas? Jawabannya tentu saja, YA! Bahkan
harus ditegaskan bahwa semua aturan perundang-undangan itu merupakan perwujudan
konkrit dari jiwa dan semangat pasar bebas. Karena itu, kendati ada
aturan-aturan tertentu, aturan itu tidak membatasi pasar dan pengusaha,
melainkan sebaliknya justru memberi kerangka dan aturan main yang jelas bagi
kebebasan berusaha dalam pasar. Aturan-aturan itu memberi kepastian dan jaminan
bagi kebebasan berusaha dalam pasar. Hanya dengan peraturan-peraturan
perundang-undangan itu bisa diharapkan bahwa cita-cita persaingan sehat dari
ideologi pasar dapat diwujudkan. Karena itu semua peraturan perundang-undangan
itu tidak kontradiktif dengan pasar yang mengandalkan persaingan bebas, karena
persaingan tersebut hanya bisa etis kalau didasarkan pada dan dijalankan
dibawah aturan perundang-undangan tersebut sebagai perwujudan semangat dan jiwa
pasar bebas itu sendiri.
Dengan
demikian, kendati ada aturan perundang-undangan seperti itu semua pelaku bisnis
akan tetap bebas, paling kurang dalam pengertian, pertama, bebas dalam kerangka
aturan main atau rambu-rambu yang telah digariskan tersebut. Kedua, dalam arti
pasar tetap terbuka bagi semua pelaku ekonomi mana pun yang bisa memenuhi
aturan main tersebut. Ketiga, dalam arti barang, jasa, modal, dan transaksi
bisnis tidak dihambat secara irasional hanya demi kepentingan kelompok tertentu
dengan mengorbankan kepentingan kelompok lain atau kepentingan masyarakat dan
dengan demikian dengan mengorbankan rasa keadilan masyarakat.
Atas dasar ini, salah satu
persiapan serius untuk memasuki sistem ekonomi pasar bebas yang bersifat global
adalah dengan mengeluarkan berbagai aturan perundang-undangan yang akan menjadi
aturan main dalam berbagai bidang dan segi kegiatan bisnis, khususnya di tanah
air. Kalau tidak, ekonomi pasar tidak akan menjadi ekonomi tanpa arah dan
dengan demikian akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri, demi meraup keuntungan bagi dirinya sendiri di tengah
ketiadaan aturan main. Ini suatu kebutuhan niscaya yang harus dijawab secara
serius oleh pemerintah dan semua pihak. Dengan peraturan perundang-undangan itu
secara konsekuen, cepat atau lambat iklim bisnis kita akan menjadi jauh lebih
baik dan etis, tanpa berarti tidak ada lagi kecurangan.
Pertanyaan
kedua adalah apakah dengan semua aturan perundang-undangan itu, ekonomi pasar,
akan dengan sendirinya menjamin suatu iklim dan kegiatan bisnis yang baik dan
etis? Tentu saja harus diakui bahwa dengan semua aturan perundang-undangan itu
tidak lalu dengan sendirinya berarti iklim dan kegiatan bisnis akan menjadi
baik dan etis sepenuhnya. Tidak. Tetapi, paling kurang berarti kecurangan,
berbagai praktek monopoli, oligopoli dan suap bisa dihindari atau paling kurang
diperkecil. Lebih dari itu, iklim dan kegiatan bisnis menjadi lebih pasti.
Dalam pengertian, kalau ada pihak yang curang bisa dipastikan-sejauh pemerintah
serius dengan itu-akan ditindak secara fair. Ini pada gilirannya
mendorong pada pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan fair, dan
juga akhirnya merasa aman karena ada aturan main yang jelas yang melindungi
kepentingan masing-masing pihak secara fair.
Sumber
: http://akirahydekinato.wordpress.com/2010/03/16/makalah-monopoli-dan-kebijakan-pemerintah/